Halaman

Senin, 19 Desember 2011

Cerpen 1 : Rumah Jahannam

Ini adalah pertama kalinya saya mem-posting cerpen saya. Buat yang mau baca-baca cerpen, silahkan baca cerpen di bawah ini. Tapi, buat yang butuh cerpen, cerpen ini tidak untuk di copy paste. NO COPY PASTE! Cerpen ini pure milik saya dan sudah dilindungi. Bagi yang copypaste, tunggu sanksinya! Here you are :))

Rumah Jahannam
karya : Fityah Mutmainnah
Di sekolah menyebalkan, di rumah membosankan. Entahlah. Aku tidak tahu dimana tempat yang bisa membuatku bahagia. Aku benci sekolah. Setiap hari harus bertemu anak-anak nakal. Di rumah, tidak ada hal yang bisa kulakukan. Semuanya membosankan! Semuanya berubah setelah Mama meninggal. Sekarang Papa sudah tidak peduli lagi denganku . Papa cuma sibuk kerja, kerja, dan kerja. Sekarang yang mengurusku cuma Nenek dan Tante. Nenek sudah sangat tua, tidak bisa mengurusku lagi. Sedangkan Tante, kerjanya Cuma memarahiku sepanjang hari. Aku tidak tahu mengapa, Tante selalu saja memarahiku walaupun aku tidak berbuat hal yang salah. Aku merasa kesepian di rumah. Aku merasa ga punya siapa-siapa lagi. Untunglah masih ada yang mau berteman denganku. Namanya Amelia. Dia yang selama ini menampung segala curahan hatiku. Amelia beruntung, punya keluarga yang sayang banget sama dia. Terkadang, aku ingin sekali kabur dari rumah dan tinggal di rumah Amelia. Tapi, aku tidak mau menyusahkan keluarganya. Huh, hidup ini berat banget!
            “Assalamualaikum! Laaaras.”
            Lamunanku terbuyar saat seseorang membunyikan bel rumah. Terdengar salam dari suara seorang gadis yang begitu lembut. Suaranya tidak asing lagi bagiku. Segera aku beranjak ke ruang tamu dan membukakan pintu.
            “Waalaikumsalam. Eh, Amelia. Ada apa, Mel ?”
“Hehe. Tau ga, Ras? Tadi Papa bilang di lapangan ada pertunjukan. Tapi Papa ga bilang pertunjukannya apa. Nonton yuk, Ras!”
“Ssstt.. ngomongnya pelan-pelan aje.”
“Kenapa? Tante kamu ada di rumah ya, Ras ?”
Iyo, makanya jangan berisik.”
“Yah, jadi gimana dong? Nanti kamu ga di izinin sama Tante kamu.”
Aku bingung harus mengatakan apa. Tante tidak pernah membiarkanku keluar rumah. Tante cuman membolehkan keluar rumah hanya untuk sekolah.  Akupun berfikir sejenak.
“Satu-satunya jalan cuman .. kabur! Gimana?”
It’s bad idea! Aku ga mau kamu kena marah lagi sama Tante kamu. Kamu mau, dapat hukuman lagi dari nenek sihir itu?”
“Udah. Tenang aje. Itu masalah entar, deh.”
Oh My God! Uh, up to you aja deh!”
Kamipun sepakat untuk pergi bersama melihat pertunjukan. Dengan perlahan kututup pintu rumah. Kami mengendap-ngendap melewati pagar rumah. Dan .. ciat! Kami berhasil.
Toss dulu dong! Hahaha.”
Buset! Ga nyangka bisa lewat pagar juga!”
“Laras gituh!”
Kami tertawa dengan lepas. Tiba-tiba terdengar teriakan dari balkon atas rumahku.
“LARAAAS!! Mau kemana kamu, hah?! Awas kamu ya! Kalau kamu pulang, ga ada ampun lagi bagimu!”
“Tante, Laras pergi dulu, ya! Byyeee!” Balasku.
Aku dan Amelia meninggalkan Tante yang masih berteriak dari atas balkon rumah. Entahlah apa yang dikatakannya. Aku tidak peduli. Kami berlari dengan cepat menuju lapangan. Takut ketinggalan melihat pertunjukan.
Hosh .. hosh .. Akhirnya nyampe juga. Haus nih, Ras. Cari minum, yuk!”
“Iya, aku juga haus. Eh sekalian cari cemilan untuk nonton pertunjukan!”
Alright!”
Karena lelah berlari, kami mencari minuman dan beberapa cemilan untuk menonton pertunjukan di lapangan. Kamipun berjalan menuju pedagang kaki lima di sudut lapangan.
“Bang, air minum dua botol, yaw!” Kata Amelia.
“Oke! Ini airnya, Neng geulis.”
“Makasih Bang Dika.”
Cieh, Amelia sama Bang Dika udah kayak sodara aje nih.”
“Hahaha. Apasih kamu, Ras. Wong aku sudah tinggal lama kok disini.” Kata Bang Dika, pedagang kaki lima yang lima tahun terakhir berjualan di sudut lapangan.
“Iya iya, peace Bang. Hehehe.”
Setelah minum dan membeli beberapa cemilan, kami berjalan menuju lapangan untuk menonton pertunjukan. Lapangan begitu ramai, anak-anak kecil sampai orang dewasa pun ikut menonton pertunjukan. Beberapa pedagang asongan juga ikut mencari keuntungan di lapangan. Kami masuk dalam keramaian penonton. Akhirnya aku dan Amelia bisa melihat pertunjukan. Di lapangan, Barongsai sedang mempertunjukkan kelihaiannya dalam menari. Kami menonton Barongsai di dekat para pemusik. Sesekali penonton bertepuk tangan dan tertawa karena Barongsai mengajak beberapa warga untuk menari. Setelah pertunjukan selesai, aku dan Amelia foto bersama Barongsai.
Alhamdulillah yah, Mel. Bagus banget kamu bawa kamera. Jadinya kita bisa foto bareng Barongsai.”
“Iya dong. Aku kan masih muda, ingatannya masih bagus. Ke pertunjukan ga lupa bawa kamera. Hehe.” Kata Amelia dengan senyumnya yang begitu manis.
Lebeh. Hahaha.”
“Ras, ke rumahku, yuk! Mama udah nyiapin sop buah.”
“Beneran? Asik asik. Lets go!”
Karena panas matahari yang begitu menyegat kulit, kamipun berlari ke rumah Amelia. Ketika kami tiba di rumah Amelia, terdengar bunyi klakson mobil beberapa kali.
Piip! Mel, kamu dari mana aja? Mau ikut Papa, nda’ ? Ajak Laras sekalian gih.”
“Kami dari nonton Barongsai di lapangan. Emangnya, Papa mau ke mana?” Tanya Amelia ke Papanya.
“Sudah, ganti baju sana! Papa tunggu di teras, ya.”
Sip!” Jawab Amelia.
“Ingat, jangan lama-lama ya!”
“Iyaaa.”
Kami berlari ke kamar Amelia. Amelia meminjamkan pakaian dan beberapa perhiasannya padaku. Amelia sangat baik. Setiap aku ke rumahnya, dia sering meminjamkan barang-barangnya untukku meskipun aku tidak memintanya.
Setelah selesai berpakaian, kami masuk ke dalam mobil. Meninggalkan sop buah yang telah dibuat Mama Amelia.
“Papa, kita mau dibawa kemana, sih?” Tanya Amel heran.
“Jalan-jalan. Mumpung Papa lagi ada waktu.”
“Asiik! Thank you, Pa!”
You’re welcome, hun!” Jawab Papa Amelia.
Selama dalam perjalanan, aku dan Amelia bernyayi bersama dan tertawa. Aku merasa begitu lepas. Semua penderitaan yang kurasakan hilang begitu saja. Entah kapan Papa bisa bercanda bersamaku lagi seperti Amelia dan Papanya.
Yap! Kita sudah sampai, anak-anak.” Kata Papa Amelia.
“Asik! Oh iya, Papa, kita makan dulu ya, Pa! Aku sama Laras udah udah lapar banget! Iya kan, Ras?”
“Iya, Om. Cacing di perutku malah udah demo minta makan dari tadi.”
“Haha. Oke oke, kita makan dulu.”
Akhirnya kami makan. Aku memesan banyak makanan. Aku makan sebanyak mungkin. Karena Tante jarang menyediakan makanan untukku. Tante hanya menyediakan makanan kalau Papa ada di rumah. Sayangnya, Papa sering keluar kota, bahkan keluar Negri. Entahlah, Papa masih mengingatku atau tidak.
Setelah makan, aku dan Amelia berbelanja. Kami belanja banyak sekali. Kami membeli beberapa DVD, baju, tas, sepatu, dan beberapa pernak-pernik lainnya. Aku tak tau berapa banyak uang yang telah kuhabiskan. Padahal Papa berpesan agar aku tidak menggunakan kartu kreditku untuk hal-hal yang tidak penting. Tapi aku tidak peduli. Toh Papa ga pernah ngasih apa-apa lagi ke aku. Papa Cuma ngasih uang yang langsung di cairkan ke rekeningku. Saat ulang tahun saja, hanya keluarga Amelia yang ingat. Mereka bahkan dengan senang hati merayakan hari ulang tahunku. Papa sudah lupa hari ulang tahunku. Bahkan tanggal kepergian Mama, mungkin Papa juga sudah lupa.
Karena hari sudah gelap, kami memutuskan untuk pulang. Aku bingung dan takut. Apakah aku pulang ke rumahku yang bagaikan neraka itu? Tadi Tante bilang kalau aku pulang, dia tidak akan mengampuniku. Tapi, aku pulang ke mana? Hatiku gusar.
“Ras, kamu yakin nih, mau pulang ke rumah kamu?” Tanya Amelia.
Ga tau, Mel. Aku takut nenek sihir itu menghukumku.”
“Jujur ya, Ras. Aku sih maunya kamu nginap aja di rumahku. Besokkan masih libur. Tapi aku takut kalau Tante kamu tau kamu nginap di rumahku, dia bakal nyiksa kamu, Ras. Aku ga mau kalo sampe hal itu terjadi.”
Beneran Mel, aku boleh nginap di rumah kamu? Aku nginap di rumah kamu aja, ya. Please, untuk yang kali ini, aku takut banget!.”
“Okedeh. Terserah kamu saja, Ras. Eh, kita sleep party, yuk!”
Ho’oh!” Jawabku.
Kuputuskan malam ini untuk menginap di rumah Amelia. Aku terlalu takut untuk pulang ke rumah. Aku takut Tante akan menghukumku lebih berat daripada hukuman yang sering dia berikan padaku. Tapi, aku sangat senang berada di tengah-tengah keluarga Amelia. Papa dan Mama Amelia sangat baik, begitupun dengan kakaknya.
Esok harinya, keluarga Amel mengajakku berekreasi di Puncak, Bogor. Aku merasa sangat bahagia bisa bersenang-senang dengan keluarga sahabatku. Sejak Mama meninggal, aku tidak pernah berekreasi lagi. Kamipun mempersiapkan barang-barang yang akan kami bawa ke Puncak. Ketika kami hampir selesai, seseorang mengetuk pintu dengan cukup keras.
“LARAAASS!! KELUAR KAMU!! TANTE TAHU KAMU ADA DI DALAM! CEPAT KELUAR! KALAU KAMU KELUAR, TANTE AKAN HUKUM KAMU!”
Aku tersentak mendengar suara itu. Tante mendatangi rumah Amelia dan menyuruhku pulang. Tiba-tiba aku merasa cemas dan takut.
“Ras, gimana nih? Tante kamu datang beneran.” Bisik Amelia.
“Aku ga tau, Mel.” Jawabku dengan mata berkaca-kaca.
“Aduh, nak. Bagaimana ini? Mama takut kalau Laras dihukum tantenya. Bagaimana kalau kita lapor ke kantor polisi saja? Ini sudah kekerasan namanya!” Kata Mama Amelia.
“Jangan Tante! Laras mohon Tante jangan lapor polisi. Laras takut Papa tahu. Kalau Tante Laras dipenjara, pasti Papa marah.” Pintaku.
Amelia menyela, “Loh, kenapa Papa kamu marah? Harusnya dia menyingkirkan orang yang menyakiti anaknya.”
“Papaku beda dengan Papamu, Mel.”
Aku berfikir sejenak. Apa yang harus kulakukan? Apa yang akan kukatakan kepada Tante? Tante masih berteriak memanggilku. Tak ada seorangpun yang berani membukakan pintu. Aku mulai memberanikan diriku. Aku telah menyusahkan keluarga Amelia. Aku harus .. melakukan ini!
Kubuka pintu perlahan. Dengan segera, Tante menyemprotku dengan kata-katanya.
“HA! BERANI JUGA KAMU, YA! SINI KAMU! TANTE TIDAK AKAN MENGAMPUNI KAMU LAGI!” Tante menarikku dan dengan cepat kusingkirkan tangannya dari lenganku.
“Stop! Laras sudah muak dengan semua ini! Laras tidak mau pulang ke rumah! Lebih baik Laras ikut dengan Mama daripada harus kembali ke neraka itu! Tante jahat! Laras benci Tante!”
Akupun berlari meninggalkan Tante. Amelia berusaha untuk mengejarku. Dia terus memanggilku. Aku tidak sampai hati mendengar Amelia memanggilku dengan isak tangisnya. Ketika aku berlari menuju jalan besar, tiba-tiba terdengar suara klakson yang begitu besar dari arah kanan. Dengan segera aku berbalik ke sumber klakson itu. Aku melihat sebuah mobil sedan yang melaju dengan cepat. Amelia memanggilku dengan keras. Ketika aku menoleh ke Amelia, sesuatu menabrakku. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku terkujur di tengah jalan. Kucoba untuk membuka mata. Kulihat sahabatku menangis.
“Mel, makasih untuk segalanya. Kamu adalah orang yang paling baik padaku setelah Mama. Tolong jangan lupakan aku, Mel. Kamu adalah sahabat yang baik. Setelah aku, kamu pasti akan punya sahabat yang jauh lebih baik dari aku. Terimakasih Amelia. You are my best friend forever.
Aku melihat sekelilingku. Keluarga Amelia melihatku. Kulihat Mama Amelia juga menangis. Kupandang langit yang begitu indah. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Semakin gelap.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar